Minggu, 05 Juni 2016

Waroeng Podjok vs warung pojok



Bambang Pram Said dari firma hukum Said, Sudiro & Partners, mengatakan bahwa kasus sengketa merek seringkali terjadi disebabkan adanya pihak tertentu yang mengambil kesempatan untuk mencari kompensasi/uang ganti rugi dikemudian hari, dengan cara mendaftarkan merek-merek yang sudah dikenal umum masyarakat. Dengan mengetahui adanya merek yang sudah dikenal umum dan menghasilkan keuntungan, tetapi pemiliknya belum mendaftarkan mereknya di Ditjen HKI, pihak beritikad tidak baik segera mendahului mendaftarkan merek tersebut, walaupun saat itu tidak ada kepentingannya dengan merek itu. Kemudian hari pihak pendaftar dengan itikad tidak baik itu menyalahgunakan hak perlindungan merek yang diberikan Undang-Undang untuk melakukan manuver tertentu sehingga pemilik asli / pengguna pertama merek itu terpaksa membayar kompensasi / ganti rugi kepada si pendaftar beritikad tidak baik itu. Padahal dalam UU Merek No 15 tahun 2001 (UU Merek) pasal 4 telah diatur bahwa merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik.
Bambang kini tengah menangani beberapa perkara HKI, antara lain perkara sengketa merek yang sedang dihadapi kliennya yakni PT. Puri Intirasa pemilik restoran ”Waroeng Podjok” yang telah lama beroperasi di mal Pondok Indah, Pacific Place, Plaza Semanggi dan beberapa mal lainnya. Menurut Bambang, sengketa merek kliennya dengan pihak Rusmin Soepadhi diawali dengan adanya somasi kepada kliennya serta peringatan terbuka di harian umum oleh pihak Rusmin sebagai pendaftar merek ”warung pojok”. Atas dasar itu serta hasil penelitian bahwa pihak Rusmin baru melakukan pendaftaran tahun 2002 setelah ”Waroeng Podjok” dikenal umum dan terindikasi adanya pendaftaran tanpa itikad baik, pihak Waroeng Podjok milik PT. Puri Intirasa yang diwakilinya melayangkan gugatan pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga. Bambang mengatakan, pihaknya melayangkan gugatan ke pihak Rusmin bukan tanpa alasan, lantaran antara lain karena kliennya sudah mengoperasikan restoran dengan nama ”Waroeng Podjok” sejak tahun 1998 dan dapat dibuktikan dengan adanya Surat Setoran Pajak pada Dinas Pendapatan Daerah sejak tahun 1999. Klien kami juga dapat membuktikan adanya Surat Keputusan pengukuhan pajak dari Kepala Dinas Pemerintahan Daerah pada tahun 1999. Disamping itu klien kami juga sudah mendapatkan pengakuan dari Ditjen Pariwisata sehubungan dengan usaha makanan tradisionalnya. Bahkan sejak itu beberapa media cetak lokal maupun lingkup Asia telah meliput usaha kuliner tradisional ”Waroeng Podjok”.
“Klien kami menggugat karena memang melihat adanya pelanggaran, itikad tidak baik dan kesewenangan dalam pendaftaran nama Warung Pojok oleh pihak Rusmin. Klien kamilah yang pertama menggunakan nama Waroeng Podjok sejak 1998. Namun pihak Rusmin mengirim somasi pada klien kami dan membuat pernyataan terbuka di harian umum bahwa mereka sebagai pendaftar merek ”Warung Pojok” dan seolah penggunaan merek ”Waroeng Podjok” oleh PT. Intirasa adalah ilegal. Akhirnya dalam proses pengadilan terbukti bahwa PT Puri Intirasa merupakan pihak yang terlebih dulu membuka usaha dengan nama “Waroeng Podjok”. Sehingga tuntutan pihak Rusmin terhadap PT Puri Intirasa agar tidak menggunakan nama ”Waroeng Podjok” serta membayar ganti rugi materiil dan immateriil sebesar Rp 6 miliar, seluruhnya ditolak pengadilan dengan salah satu pertimbangan bahwa PT Puri Intirasa telah lebih dahulu melakukan usaha restoran dengan nama ”Waroeng Podjok”. Dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga mengingatkan bahwa istilah/kata ”Warung Pojok” sudah dikenal dari masa ke masa. Bambang melanjutkan, meskipun gugatan balik pihak Rusmin seluruhnya ditolak Majelis Hakim, terasa masih ada yang menggantung, yakni Majelis Hakim belum memerintahkan mencabut pendaftaran merek “Warung Pojok”. Apabila nama itu memang dianggap sudah ada dari masa ke masa yang artinya sudah dianggap milik umum, maka semestinya Pengadilan memerintahkan pencabutan pendaftaran merek tersebut agar tidak menjadi monopoli pihak pendaftar saja, dan pihak lain dapat menggunakannya. Bahkan dalam proses persidangan terungkap bahwa sejak pendaftarannya pada tahun 2002 nama “Warung Pojok” tidak pernah digunakan oleh pihak Rusmin. Baru pada awal tahun 2008, tidak lama sebelum mengajukan somasi dan peringatan terbuka di harian umum pihak Rusmin menggunakan nama itu untuk restorannya yang baru dibuka. Berdasarkan ketentuan pasal 61 ayat 2 a UU Merek semestinya Ditjen HKI menghapus pendaftaran merek tersebut karena telah tidak digunakan lebih dari tiga tahun sejak pendaftarannya. Kasasi ke Mahkamah Agung Lantaran tuntutan membayar ganti rugi materill dan immaterill serta tuntutan agar PT Puri Intirasa tidak lagi menggunakan nama “Waroeng Podjok” seluruhnya ditolak Majelis Hakim, pihak Rusmin mengajukan kasasi atas putusan tersebut ke Mahkamah Agung, yang didaftarkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada hari Senin tanggal 8 September 2008 lalu.
Menghadapi upaya kasasi tersebut, Bambang mengatakan pihaknya telah mempersiapkan beberapa langkah antisipasi. Kami berharap Mahkamah Agung mempertimbangkan kenyataan bahwa pihak pendaftar merek ”warung pojok” tidak pernah menggunakan nama tersebut sejak pendaftarannya pada tahun 2002 hingga pertama kalinya di awal tahun 2008. Menurut UU Merek jika dalam rentang waktu tiga tahun suatu merek tidak digunakan, maka Ditjen HKI akan menghapus pendaftaran merek tersebut. Tanpa adanya tuntutan dari pihak lainpun seharusnya Ditjen HKI berinisiatif menghapus pendaftaran merek tersebut, sebagaimana diamanatkan UU.

Analisis :
Banyak masyarakat Indonesia yang sangat tertarik dengan keuntungan yang ditawarkan dari bisnis kuliner. Banyak sekali inovasi-inovasi baru dari beberapa makanan seperti contohnya pada kasus ini adalah “waroeng podjok” dan “warung pojok”. Demi mendapatkan keuntungan dan popularitas, banyak masyarakat yang menggunakan kesamaan nama walaupun hanya dibedakan cara membaca atau beberapa hurufnya. Namun hal seperti ini sebenarnya melanggar hak atas merek bagi perusahaan yang sudah lebih dahulu menggunakannya. Diharapkan masyarakat dapat berfikir lebih luas untuk memulai bisnisnya sehingga tidak terjadi kasus-kasus seperti ini lagi.
Sumber :

Kasus sengketa IKEA




IKEA membuka tokonya di Alam Sutera, Tangerang, Provinsi Banten, pada 13 Oktober 2014. Eva tampak serius mengamati deretan pot bunga yang terbuat dari tembikar. Telapak tangannya disapukan ke permukaan salah satu pot, untuk memeriksa kekokohan barang tersebut. Eva adalah salah seorang dari ribuan pengunjung di toko furnitur IKEA yang terletak di Alam Sutera, Tangerang, Provinsi Banten. Dia mengaku rajin menyambangi toko itu untuk membeli beragam keperluan rumah tangga. Ketika ditanya mengenai kasus merek yang melibatkan toko tersebut, dia mengangguk tanda mengerti.
“Saya sudah mendengar kasus ini. Tapi saya sih merasa tidak terpengaruh. Saya akan tetap datang ke sini,” kata Eva.
Selama nyaris dua pekan terakhir, Eva dan publik Indonesia lainnya disajikan pemberitaan mengenai perusahaan raksasa mebel asal Swedia, IKEA. Melalui putusan Mahkamah Agung yang dipublikasikan ke ranah publik pada awal bulan ini, merek dagang perusahaan tersebut dihapuskan di Indonesia. Akibatnya, cap IKEA tak lagi bisa menempel pada dua jenis barang, yakni perabot rumah yang terbuat dari kayu, gabus, rumput, rotan, dan plastik serta wadah untuk rumah tangga yang terbuat dari porselin atau tembikar.
Dalam klasifikasi hak kekayaan intelektual Indonesia, kedua jenis barang itu masuk kelas 20 dan 21. Mahkamah Agung memutuskan bahwa merek dagang IKEA harus dicabut pada dua jenis barang, yakni perabot rumah yang terbuat dari kayu, gabus, rumput, rotan, dan plastik serta wadah untuk rumah tangga yang terbuat dari porselin atau tembikar. Dalam klasifikasi hak kekayaan intelektual Indonesia, kedua jenis barang itu masuk kelas 20 dan 21.
 
Duduk perkara
Sebagaimana dijelaskan Direktur Jenderal Hak kekayaan Intelektual dari Kementerian Hukum dan HAM, Ahmad Ramli, Inter Ikea System BV selaku pemegang merek IKEA telah mendaftarkan mereknya pada berbagai jenis barang, termasuk kelas 20 dan 21, pada Ditjen HAKI pada 2010. Tiga tahun kemudian, PT Ratania Khatulistiwa dari Surabaya melayangkan gugatan untuk menghapus merek IKEA.
“Direktur Merek kemudian mengeluarkan usul tolak. Karena usul tolak ini, pemohon kemudian mengajukan ke pengadilan dengan alasan non-use, artinya jika suatu merek tidak digunakan dalam tiga tahun, maka merek itu bisa dicoret atau dihapus,” kata Ahmad Ramli kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Dalih yang digunakan oleh PT Ratania Khatulistiwa ialah Pasal 61 ayat 1 huruf a UU Merek yang berbunyi:
“Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal.”
Inter Ikea System BV selaku pemegang merek IKEA telah mendaftarkan mereknya pada berbagai jenis barang, termasuk kelas 20 dan 21, pada Ditjen HAKI pada 2010. Tiga tahun kemudian, PT Ratania Khatulistiwa dari Surabaya melayangkan gugatan untuk menghapus merek IKEA.
Pada 17 September 2014, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memerintahkan merek IKEA di kelas 20 dan 21 harus dicabut. Atas vonis ini, Inter Ikea System BV mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Tapi, pada 12 Mei 2015, MA mengeluarkan putusan menolak permohonan kasasi. Juru bicara MA, Suhadi, menolak menjelaskan dasar penolakan yang diputuskan majelis hakim yang diketuai Syamsul Maarif dan beranggotakan Abdurrahman dan I Gusti Agung Sumanatha. Namun, dia mengakui ada perbedaan pendapat di antara hakim.
"Hakim agung Sumanatha memilih dissenting opinion dan menyatakan gugatan PT Ratania haruslah ditolak," kata Suhadi.
Inter Ikea System BV telah melakukan registrasi ulang ke Direkrorat Jenderal HAKI di Indonesia pada 2012 dan disetujui atau terdaftar pada 2014.

Tetap buka
Lantas, apakah akibat putusan tersebut, IKEA tak lagi bisa memperdagangkan produk-produk mereka di Indonesia? Tony Mampuk, kepala divisi hubungan pemerintah IKEA Indonesia, membenarkan bahwa putusan MA menghapus merek IKEA pada 2010.
“Tetapi yang tidak terungkap bahwa Inter Ikea System BV telah melakukan registrasi ulang ke Direkrorat Jenderal HAKI di Indonesia pada 2012 dan disetujui atau terdaftar pada 2014. Sertifikat tahun 2014 sampai dengan hari ini masih berlaku dan valid dan dilisensikan secara eksklusif oleh Inter Ikea System BV ke PT Hero Supermarket. Jadi bisa dibilang, secara dampak, putusan (MA) itu tidak berdampak selain menghapus trademark 2010 yang telah digantikan pada 2014,” kata Tony.
Pihak IKEA Indonesia menambahkan bahwa amar putusan Mahkamah Agung pada 2015 lalu menyebutkan mengenai penghapusan merek dagang IKEA pada dua jenis barang, tapi tidak disebutkan bahwa merk IKEA dialihkan ke pihak lain. Atas alasan itu pula, toko IKEA di Alam Sutera, Tangerang, tetap buka.
BBC Indonesia berupaya beberapa kali menghubungi PT Ratania Khatulistiwa di Surabaya selaku penggugat merk IKEA, namun perusahaan tersebut belum kunjung memberikan tanggapan. Pihak IKEA Indonesia menambahkan bahwa amar putusan Mahkamah Agung pada 2015 lalu menyebutkan mengenai penghapusan merek dagang IKEA pada dua jenis barang, tapi tidak disebutkan bahwa merk IKEA dialihkan ke pihak lain.



Sorotan
Masalah merek ini mendapat sorotan dari sejumlah akademisi. Profesor Muhammad Hawin, dosen kajian persaingan usaha dari Universitas Gajah Mada, misalnya. Menurutnya, dalam beberapa kasus merk yang disengketakan di pengadilan, hakim tidak melindungi merek terkenal.
“Semangat untuk melindungi investor asing belum tinggi,” katanya. Heru Susetyo, dosen kajian hukum masyarakat dan pembangunan dari Universitas Indonesia memandang kasus merk IKEA adalah cerminan bahwa hukum di Indonesia kurang mendukung investasi dan inovasi.
“Ada dua hal. Pertama, produk hukumnya belum ada atau kurang mendukung iklim investasi dan teknologi di Indonesia. Jadi ini bukan hanya masalah IKEA ya,” ujar Heru seraya menyebut sejumlah contoh, seperti kasus transportasi ojek online dan kasus perakit televisi. Hal ini, menurutnya, tantangan bagi dunia hukum di Indonesia yang perkembangannya lebih lambat dari perkembangan teknologi dan ekonomi.
“Ini membuat para investor atau pengusaha jadi berpikir panjang untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnisnya,” kata Heru.

Anilisis :
Indonesia adalah salah satu Negara berkembang yang saat ini sedang berusaha memperbaiki ekonomi negaranya. Masyarakat Indonesia yang sangat konsumtif, menggiurkan investor dari luar negeri untuk menjajalkan usahanya dinegara ini. Namun, Negara ini masih sangat kurang memperkuat hukum terhadap merek-merek baik merek dari Negara tersebut maupun Negara luar. Seperti kasus IKEA ini yang tidak mendapatkan perlindungan hukumnya terhadap beberapa dagangannya seperti merek dagang kelas 20 dan 21. Investor dari luar negeri ini dapat membantu perekonomian Indonesia, namun dengan adanya kasus seperti ini, mungkin banyak investor yang harus berfikir panjang untuk memulai investasinya dengan Indonesia.